SUHRAWARDI
Tugas
Mata Kuliah : Eksistentialisme Filsafat
Islam Pertengahan
Dosen
Pengampu : DR. Zainul Adzfar, M.Ag
Oleh :
1. Istajib Azmi (1504016018)
2. M. Caesar Syarif H. (1504016019)
AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Ada dua aliran
dalam filsafat yaitu aliran paripatetis dan iluminasi. Aliran paripatetis adalah aliran yang biasanya diikuti oleh
sebagian besar kaum filsuf, sedangkan aliran iluminasi adalah saingannya dari
aliran paripatetis tersebut. Aliran iluminasi ini dipelopori oleh seorang tokoh
filsuf muslim yaitu Suhrawardi Al-Maqtul yang dikenal dengan bapak iluminasi.
Mencari
keterkaitan antara tasawuf dengan filsafat ternyata tidak hanya didominasi oleh
Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Usaha tersebut juga dilakukan oleh para
filosof lain dengan metode dan pendekatannya yang berbeda. Salah satunya adalah
Suhrawardî, yang memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang sumbernya
dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan
agama-agama lain. Suhrawardî merupakan penyatu kembali apa yang disebutnya
sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat
(kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi)
dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu,
Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan sedikit diuraikan mengenai Suhrawardi
ini, dari biografi sampai pemikirannya.
2.
Rumusan Masalah
1)
Bagaimana
biografi Suhrawardi?
2)
Apa
saja karya-karyanya?
3)
Bagaimana
pengertian dan teori iluminasi Suhrawardi?
4)
Bagaimana
prosedur atau metode perolehan pengetahuan?
PEMBAHASAN
1.
Biografi Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi
ialah Abu Al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak As-Suhrawardi Al-Kurdi, lahir
pada tahun 549 H./1153 M., di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran
barat laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar: Syaikh al-isyraq; Master
Of Illuminasionist; al-hakim; asy-syahid; the Martyr, dan al-Maqtul. Akan
tetapi Suhrawardi lebih terkenal dengan sebutan Al-Maqtul.
Di usianya yang
terbilang sangat muda, Suhrawardi telah mengunjungi tempat untuk menemui sang
guru dan pembimbing ruhaninya. Wilayah yang pertama kali dikunjungi Suhrawardi
adalah Maragha, yang berada di kawasan Azerbaijan. Di tempat inilah ia belajar
hukum, Filsafat, dan Theologi kepada Majd ad-Din al-Jili. Setelah berguru
kepada Majd ad-Din al-Jili, Suhrawardi kemudian memperdalam kajian Falsafah
kepada Fakhr ad-Din al-Mardini (w. 294 H./1198 M.).
Setelah belajar
di Maragha, Suhrawardi kemudian meneruskan perjalanannya ke Ishfahan, Iran
Tengah. Di sini, Suhrawardi belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari. Dia
mempelajari logika buku Al-Basha’ir an-Nashiriyyah karya Umar bin Sahlan
as-Sawi (w. 540 H./1145 M.).
Setelah
memperoleh pengetahuan formalnya, Suhrawardi pergi menuju Persia. Di situ
Suhrawardi tertarik dengan ajaran dan doktrin tasawuf dan akhirnya ia menekuni
mistisisme. Pada akhirnya pada diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian
sekaligus, falsafah dan tasawuf, sehingga ia menjadi seorang Filosof dan
sekaligus seorang Sufi.
Suhrawardi
meninggal pada 29 Juli 578 H./1191 M., dalam usia 36 tahun menurut kalender
Syamsiyah atau 38 tahun menurut kalender Qamariyah.[1]
2.
Karya-Karya Suhrawardi
Meskipun masa
hidupnya terbilang pendek, Suhrawardi telah menulis sekitar 50 judul buku dalam
bahasa Arab dan Persia. Karya peninggalannya dalam berbagai bidang, yang
ditulis dengan metode yang berbeda, dan memungkinkan membaginya ke dalam lima
bagian.
·
Buku-buku
empat besar mengenai pengajaran dan akidah, kesemuanya ditulis dengan bahasa
Arab. Yaitu : al-talwihat, al-muqawimat, al-mutharahat, dan hikmat al-isyraq.
·
Risalah-risalah
pendek yaitu : hayakil al-nur, al-alwah al-imadiyah, bartaunamah (atau risalah
fi al-isyraq), fi i’tiqadi al-hukama, al-lamhat, yasdan syinakht (atau ma’rifah
Allah), dan bustan al-qulub.
·
Kisah-kisah
atau riwayat-riwayat Shufisme yang meliputi : aqlun surkh, al-aqlu al-ahmaru,
awazibari jibrail, hafifu jinahi jibril, al-ghurbah al-gharniyah, lughawi
muran, lughah al-namal, risalah dalam halah al-thufuliyah, ruzi ba jama’at
shufiyah, yaum ma’a jamaat al-shufiyin, risalah fi al-mi’raj, shafair simurgh,
dan shufair al-unaqa.
·
Nukilan-nukilan,
terjemahan-terjemahan, dan penjelasan-penjelasan terhadap buku-buku filsafat
lama, dan nash-nash agama samawi. Seperti, terjemahan risalah al-thair karangan
Ibnu Sina dalam bahasa Persia, dan penjelasan al-isyarat, serta tulisan dalam
risalah fi haqiqat al-isyqi, yang terpusat pada risalah Ibnu Sina fi al-isyqi,
dan tafsir-tafsir dengan sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi.
·
Wirid-wirid
dan do’a-do’a dalam bahasa Arab yang, pada contoh itu dikenal dengan kutubu
al-sa’at (the books of hours) pada abad-abad pertengahan. Sedang Suhrawardi
sendiri menamakanya al-waridat wal taqdisat.[2]
3.
Pengertian dan Teori Pengetahuan Iluminasi Suhrawardi
Kata isyrâq
mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang
karena disinari dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan
atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan,
ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang
dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat
manusia menderita. Illuminiation, dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan
kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa
filsafat, illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari
kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi,
apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan
ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan
kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali
yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena
itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang
itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh,
cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbol cahaya digunakan untuk
menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk
akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan
tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol
cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.[3]
Menurut
pemikiran sebelumnya, khususnya kaum paripatetik, pengetahuan dapat diperoleh
melalui berbagai cara; (1) lewat defnisi, (2) lewat perantara predikat, seperti
X adalah Y, dan (3) lewat konsepsi-konsepsi (tashawur). Ini terjadi karena
objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya berada di luar
eksistensi subjek. Di antara keduanya tidak ada kaitan logis, ontologis atau
bahkan epistemologis. Karena itu, pengetahuan ini menuntut konfrmasi (tasdiq)
untuk menentukan kriteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada kesesuaian
antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan kondisi objektif eksternal objek;
dianggap salah, jika tidak ada kesesuaian di antara keduanya.
Suhrawardi
mengkritik proses mengetahui seperti itu. Menurutnya, proses tersebut
mengandung beberapa kelemahan; (1) menunjuk pada sesuatu yang tidak hadir
(al-syayi’ al-ghaib), (2) terbatas, karena tidak semua objek bisa dikonsepsikan
atau didefnisikan, (3) apa yang telah ada dalam konsep mental tidak mungkin
pernah identik dengan realitas objektif yang ada di luar, sehingga tidak
terjamin validitasnya, dan (4) terikat pada proses waktu.
Bagi Suhrawardi,
agar dapat diketahui, sesuatu harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa).
Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak membutuhkan
defnisi (istighma ‘an al-ta’rif).
Misalnya, warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat
seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefnisikan oleh dan untuk
orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya. Kongkritnya dalam hal ini, Suhrawardi
menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang
dilihat secara langsung tanpa penghalang apa pun. Jenis hubungan iluminasi
inilah yang merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai dasar
pengetahuan, dan konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut
pendekatan mental terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap
objek yang menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi bila objek-objeknya
dirasakan.
Proses
mengetahui secara langsung atas hal-hal yang sederhana tersebut, seperti warna,
rasa, bau, suara dan lainnya, juga berlaku pada sesuatu yang lebih besar dan
majemuk. Bedanya, sesuatu yang sederhana dan tunggal diketahui lewatessensinya,
sedang hal-hal yang majemuk diketahui lewat sifat-sifat essensinya. Namun yang
pasti, substansi dapat diketahui lewat dirinya sendiri, tapi hanya dengan
hubungan iluminasi ia bisa dipahami subjek, yakni dapat ‘memahami’ dan
‘melihat’ objek sebagai essensi yang
sebenarnya.
Dengan
demikian, dalam pandangan Suhrawardi, sebuah pengetahuan yang benar hanya bisa
dicapai lewat hubungan langsung dan tanpa penghalang antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui. Namun, hubungan itu sendiri tidak
bersifat pasif melainkan aktif, di mana subjek dan objek satu sama lain hadir
dan tampak pada essensinya sendiri dan di antara keduanya saling bertemu tanpa
penghalang.[4]
4.
Prosedur atau Metode Perolehan Pengetahuan
Pengetahuan isyraqi,
karena objeknya bersifat immanen dan berupa swaobjektivitas yang melibatkan
kesadaran, maka cara memperolehnya, harus melalui tahap-tahap tertentu:
1)
Tahap
persuapan untuk menerima pengetahuan iluminatif.
Tahap ini
diawali dengan aktiftas-aktiftas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40
hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur ilahi dan
sebagainya. Langkah-langkah ini sama dengan laku asketik dalam ajaran suf,
kecuali bahwa di sini tidak ada konsep ahwal (keadaan-keadaan) dan maqamat
(station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan
kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian
dari ‘cahaya tuhan’, seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan
mengakui keberadaan intuisinya melaui ilham dan penyingkapan diri. Dengan
demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktivitas tertentu,
(2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai
mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.
2)
Tahap
penerimaan, di mana cahaya Tuhan memasuki diri manusia.
Cahaya ini
mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya menyingkap’, di mana dengan lewat
‘cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan
yang sebenarnya dapat diperoleh.
3)
Tahap
pembangunan pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskurtif.
Di sini
pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfkir yang digariskan dalam
posterior analytics Aristoteles. Dengan demikian, sehingga dari situ bisa
dibentuk suatu sistem di mana pengalaman tersebut dapat didudukkan dan diuji
validitsnya, meskipun pengalamannya sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan
pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan dengan pengetahuan
Illuminatif.
4)
Tahap
pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur
yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh
orang lain.
Namun, bagi
pengikut jalan iluminasi, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman
langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang
diselidiki dan digambarkan.
Dengan
demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan
intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode
intuitif dan diskurtif, di mana cara intuitif digunakan untuk meraih segala
sesuatu yang dapat dicapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan
pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.[5]
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Nama lengkap
Suhrawardi ialah Abu Al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak As-Suhrawardi
Al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M., di Suhraward, sebuah kampung di
kawasan Jibal, Iran barat laut dekat Zanjan. Suhrawardi meninggal pada 29 Juli
578 H./1191 M., dalam usia 36 tahun menurut kalender Syamsiyah atau 38 tahun
menurut kalender Qamariyah. Karya-karyanya yaitu al-talwihat, hayakil al-nur,
aqlun surkh, kutubu al-sa’at dan lain-lain.
Dalam pandangan
Suhrawardi, sebuah pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan
langsung dan tanpa penghalang antara subjek yang mengetahui dengan objek yang
diketahui. Tahap perolehan pengetahuan antara lain: Tahap persuapan untuk
menerima pengetahuan iluminatif, tahap penerimaan, di mana cahaya Tuhan
memasuki diri manusia, tahap pembangunan pengetahuan yang valid dengan
menggunakan analisis diskurtif dan tahap pelukisan atau dokumentasi dalam
bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap
sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.
2.
Saran
Semoga dengan
adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai tokoh penting
filsafat yaitu Suhrawardi, dari biografi, karya-karyanya sampai pemikiran-pemikirannya
yang penting untuk kita pelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik.
Yogyakarta: LKiS
Nasr, Sayyed Husein. 1986. Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina,
Suhrawardi, Ibnu Arabi. Terjemahan
Ahmad Mujahid. Bandung: Risalah
Soleh, A Khudori. 2011. Filsafat Isyraqi Suhrawardi. ESENSIA
Vol XII No. 1
Sumadi, Eko. 2015. Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi)
Syihabudin Suhrawardi. Fikrah, Vol.
3, No. 2
[1]
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, LKiS,
Yogyakarta, 2005, Hlm. 29-33
[2]
Sayyed Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Terjemahan
Ahmad Mujahid, Risalah, Bandung, 1986, Hlm. 72-73
[3]
A Khudori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi, ESENSIA Vol XII No. 1
Januari 2011, Hlm. 5-6
[4]
Eko Sumadi, Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi,
Fikrah, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, Hlm. 290-292
[5]
Ibid., Hlm. 295-297