Jumat, 21 Juli 2017

Makalah Teori dan Prosedur Kebenaran Suhrawardi

Post oleh : Unknown | Rilis : Juli 21, 2017 | Series :

SUHRAWARDI
Tugas Mata Kuliah : Eksistentialisme Filsafat Islam Pertengahan
Dosen Pengampu : DR. Zainul Adzfar, M.Ag

                                    
Oleh :
1.      Istajib Azmi                (1504016018)
2.      M. Caesar Syarif H.    (1504016019)

AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2016



PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Ada dua aliran dalam filsafat yaitu aliran paripatetis dan iluminasi. Aliran paripatetis adalah aliran yang biasanya diikuti oleh sebagian besar kaum filsuf, sedangkan aliran iluminasi adalah saingannya dari aliran paripatetis tersebut. Aliran iluminasi ini dipelopori oleh seorang tokoh filsuf muslim yaitu Suhrawardi Al-Maqtul yang dikenal dengan bapak iluminasi.
Mencari keterkaitan antara tasawuf dengan filsafat ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Usaha tersebut juga dilakukan oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatannya yang berbeda. Salah satunya adalah Suhrawardî, yang memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang sumbernya dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî merupakan penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles. Oleh karena itu dalam makalah ini akan sedikit diuraikan mengenai Suhrawardi ini, dari biografi sampai pemikirannya.

2.      Rumusan Masalah
1)      Bagaimana biografi Suhrawardi?
2)      Apa saja karya-karyanya?
3)      Bagaimana pengertian dan teori iluminasi Suhrawardi?
4)      Bagaimana prosedur atau metode perolehan pengetahuan?


PEMBAHASAN
1.      Biografi Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi ialah Abu Al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak As-Suhrawardi Al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M., di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran barat laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar: Syaikh al-isyraq; Master Of Illuminasionist; al-hakim; asy-syahid; the Martyr, dan al-Maqtul. Akan tetapi Suhrawardi lebih terkenal dengan sebutan Al-Maqtul.
Di usianya yang terbilang sangat muda, Suhrawardi telah mengunjungi tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing ruhaninya. Wilayah yang pertama kali dikunjungi Suhrawardi adalah Maragha, yang berada di kawasan Azerbaijan. Di tempat inilah ia belajar hukum, Filsafat, dan Theologi kepada Majd ad-Din al-Jili. Setelah berguru kepada Majd ad-Din al-Jili, Suhrawardi kemudian memperdalam kajian Falsafah kepada Fakhr ad-Din al-Mardini (w. 294 H./1198 M.).
Setelah belajar di Maragha, Suhrawardi kemudian meneruskan perjalanannya ke Ishfahan, Iran Tengah. Di sini, Suhrawardi belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari. Dia mempelajari logika buku Al-Basha’ir an-Nashiriyyah karya Umar bin Sahlan as-Sawi (w. 540 H./1145 M.).
Setelah memperoleh pengetahuan formalnya, Suhrawardi pergi menuju Persia. Di situ Suhrawardi tertarik dengan ajaran dan doktrin tasawuf dan akhirnya ia menekuni mistisisme. Pada akhirnya pada diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian sekaligus, falsafah dan tasawuf, sehingga ia menjadi seorang Filosof dan sekaligus seorang Sufi.
Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 578 H./1191 M., dalam usia 36 tahun menurut kalender Syamsiyah atau 38 tahun menurut kalender Qamariyah.[1]
2.      Karya-Karya Suhrawardi
Meskipun masa hidupnya terbilang pendek, Suhrawardi telah menulis sekitar 50 judul buku dalam bahasa Arab dan Persia. Karya peninggalannya dalam berbagai bidang, yang ditulis dengan metode yang berbeda, dan memungkinkan membaginya ke dalam lima bagian.
·         Buku-buku empat besar mengenai pengajaran dan akidah, kesemuanya ditulis dengan bahasa Arab. Yaitu : al-talwihat, al-muqawimat, al-mutharahat, dan hikmat al-isyraq.
·         Risalah-risalah pendek yaitu : hayakil al-nur, al-alwah al-imadiyah, bartaunamah (atau risalah fi al-isyraq), fi i’tiqadi al-hukama, al-lamhat, yasdan syinakht (atau ma’rifah Allah), dan bustan al-qulub.
·         Kisah-kisah atau riwayat-riwayat Shufisme yang meliputi : aqlun surkh, al-aqlu al-ahmaru, awazibari jibrail, hafifu jinahi jibril, al-ghurbah al-gharniyah, lughawi muran, lughah al-namal, risalah dalam halah al-thufuliyah, ruzi ba jama’at shufiyah, yaum ma’a jamaat al-shufiyin, risalah fi al-mi’raj, shafair simurgh, dan shufair al-unaqa.
·         Nukilan-nukilan, terjemahan-terjemahan, dan penjelasan-penjelasan terhadap buku-buku filsafat lama, dan nash-nash agama samawi. Seperti, terjemahan risalah al-thair karangan Ibnu Sina dalam bahasa Persia, dan penjelasan al-isyarat, serta tulisan dalam risalah fi haqiqat al-isyqi, yang terpusat pada risalah Ibnu Sina fi al-isyqi, dan tafsir-tafsir dengan sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi.
·         Wirid-wirid dan do’a-do’a dalam bahasa Arab yang, pada contoh itu dikenal dengan kutubu al-sa’at (the books of hours) pada abad-abad pertengahan. Sedang Suhrawardi sendiri menamakanya al-waridat wal taqdisat.[2]
3.      Pengertian dan Teori Pengetahuan Iluminasi Suhrawardi
Kata isyrâq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Illuminiation, dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa filsafat, illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbol cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.[3]
Menurut pemikiran sebelumnya, khususnya kaum paripatetik, pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai cara; (1) lewat defnisi, (2) lewat perantara predikat, seperti X adalah Y, dan (3) lewat konsepsi-konsepsi (tashawur). Ini terjadi karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya berada di luar eksistensi subjek. Di antara keduanya tidak ada kaitan logis, ontologis atau bahkan epistemologis. Karena itu, pengetahuan ini menuntut konfrmasi (tasdiq) untuk menentukan kriteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada kesesuaian antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah, jika tidak ada kesesuaian di antara keduanya.
Suhrawardi mengkritik proses mengetahui seperti itu. Menurutnya, proses tersebut mengandung beberapa kelemahan; (1) menunjuk pada sesuatu yang tidak hadir (al-syayi’ al-ghaib), (2) terbatas, karena tidak semua objek bisa dikonsepsikan atau didefnisikan, (3) apa yang telah ada dalam konsep mental tidak mungkin pernah identik dengan realitas objektif yang ada di luar, sehingga tidak terjamin validitasnya, dan (4) terikat pada proses  waktu.
Bagi Suhrawardi, agar dapat diketahui, sesuatu harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak membutuhkan defnisi (istighma ‘an al-ta’rif).  Misalnya, warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefnisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya.  Kongkritnya dalam hal ini, Suhrawardi menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apa pun. Jenis hubungan iluminasi inilah yang merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan, dan konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap objek yang menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi bila objek-objeknya dirasakan.
Proses mengetahui secara langsung atas hal-hal yang sederhana tersebut, seperti warna, rasa, bau, suara dan lainnya, juga berlaku pada sesuatu yang lebih besar dan majemuk. Bedanya, sesuatu yang sederhana dan tunggal diketahui lewatessensinya, sedang hal-hal yang majemuk diketahui lewat sifat-sifat essensinya. Namun yang pasti, substansi dapat diketahui lewat dirinya sendiri, tapi hanya dengan hubungan iluminasi ia bisa dipahami subjek, yakni dapat ‘memahami’ dan ‘melihat’ objek sebagai essensi yang  sebenarnya.
Dengan demikian, dalam pandangan Suhrawardi, sebuah pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung dan tanpa penghalang antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Namun, hubungan itu sendiri tidak bersifat pasif melainkan aktif, di mana subjek dan objek satu sama lain hadir dan tampak pada essensinya sendiri dan di antara keduanya saling bertemu tanpa penghalang.[4]
4.      Prosedur atau Metode Perolehan Pengetahuan
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa swaobjektivitas yang melibatkan kesadaran, maka cara memperolehnya, harus melalui tahap-tahap tertentu:
1)      Tahap persuapan untuk menerima pengetahuan iluminatif.
Tahap ini diawali dengan aktiftas-aktiftas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur ilahi dan sebagainya. Langkah-langkah ini sama dengan laku asketik dalam ajaran suf, kecuali bahwa di sini tidak ada konsep ahwal (keadaan-keadaan) dan maqamat (station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya tuhan’, seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui keberadaan intuisinya melaui ilham dan penyingkapan diri. Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.
2)      Tahap penerimaan, di mana cahaya Tuhan memasuki diri manusia.
Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya menyingkap’, di mana dengan lewat ‘cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya dapat diperoleh.
3)      Tahap pembangunan pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskurtif.
Di sini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfkir yang digariskan dalam posterior analytics Aristoteles. Dengan demikian, sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem di mana pengalaman tersebut dapat didudukkan dan diuji validitsnya, meskipun pengalamannya sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan dengan pengetahuan Illuminatif.
4)      Tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.
Namun, bagi pengikut jalan iluminasi, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskurtif, di mana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang dapat dicapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.[5]


PENUTUP
1.      Kesimpulan
Nama lengkap Suhrawardi ialah Abu Al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak As-Suhrawardi Al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M., di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran barat laut dekat Zanjan. Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 578 H./1191 M., dalam usia 36 tahun menurut kalender Syamsiyah atau 38 tahun menurut kalender Qamariyah. Karya-karyanya yaitu al-talwihat, hayakil al-nur, aqlun surkh, kutubu al-sa’at dan lain-lain.
Dalam pandangan Suhrawardi, sebuah pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung dan tanpa penghalang antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Tahap perolehan pengetahuan antara lain: Tahap persuapan untuk menerima pengetahuan iluminatif, tahap penerimaan, di mana cahaya Tuhan memasuki diri manusia, tahap pembangunan pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskurtif dan tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.
2.      Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai tokoh penting filsafat yaitu Suhrawardi, dari biografi, karya-karyanya sampai pemikiran-pemikirannya yang penting untuk kita pelajari.

DAFTAR PUSTAKA
Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LKiS
Nasr, Sayyed Husein. 1986. Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Terjemahan
           Ahmad Mujahid. Bandung: Risalah
Soleh, A Khudori. 2011. Filsafat Isyraqi Suhrawardi. ESENSIA Vol XII No. 1
Sumadi, Eko. 2015. Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi. Fikrah, Vol.
           3, No. 2



[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, LKiS, Yogyakarta, 2005, Hlm. 29-33
[2] Sayyed Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Terjemahan Ahmad Mujahid, Risalah, Bandung, 1986, Hlm. 72-73
[3] A Khudori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi, ESENSIA Vol XII No. 1 Januari 2011, Hlm. 5-6
[4] Eko Sumadi, Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi, Fikrah, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, Hlm. 290-292
[5] Ibid., Hlm. 295-297

google+

linkedin