MENGEMBANGKAN KARAKTER ISLAM ANAK
DARI PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Indigenous
Dosen Pengampu: Naili Ni’matul Illiyyun, M.A
Oleh:
M. Caesar Syarif H. (1504016019)
AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan
dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu proses
pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan
mendewasakan peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik sebagai
makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil
ardh, dan terbaik di antara makhluk lainnya.[1]
Pendidikan
dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah budaya. Budaya dapat mempengaruhi
pendidikan karena setiap manusia hidup di dalam budaya. Pada saat ini budaya
lokal semakin tergeser dengan adanya budaya-budaya modern yang terus
berkembang. Kebudayaan lokal semakin terpinggirkan dari masyarakat dan kurang
membumi.
Dalam Tugas
kali ini, saya akan mencoba untuk tetap mempertahankan budaya kita dengan cara
membuatnya sebagai bahan pendidikan untuk membentuk karakter yang Islami kepada
Anak.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
fokus pembahasan dalam latar belakang di atas, dapat kita ketahui bahwa rumusan
masalah dalam pembahasan ini adalah, apakah budaya dapat dijadikan sebagai
bahan pendidikan karakter Islam terhadap anak?
PEMBAHASAN
1.
Kebudayaan, dan Karakter
·
Kebudayaan
Istilah
kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja
dalam bahasa Latin colere yang berarti bercocok-tanam (cultivation);
dan bahkan di kalangan penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga
dapat diartikan sebagai ibadah atau sembahyang (worship). Dalam bahasa
Indonesia, kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu
bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal); dan ada kalanya juga
ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk
‘budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa dan rasa.
Karenanya ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari cipta,
karsa, dan rasa.[2]
·
Karakter
Secara
etimologis, kata karakter (Inggris: Character) beraal dari bahasa
Yunani. Yaitu Charassein yang berarti to engrave. Kata to
engrave bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan.
Dalam kamus bahasa Indonesia kata karakter diartikan tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain,
dan watak. Dengan demikian, orang berkarakter orang yang berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.[3]
Secara
terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona bahwa karakter
adalah a reliable inner disposition to respond to situations in a morally
good way, yang berarti suatu watak terdalam untuk merespons situasi dalam
suatu cara yang baik dan bermoral. Dalam pandangan Lickona, karakter berarti
suatu watak terdalam yang dapat diandalkan untuk merespons situasi dengan cara
yang menurut moral baik. Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so
conceived ha three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral
behavior.” (Artinya: karakter tersusun ke dalam tiga bagian yang saling
terkait, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, dan perilaku
bermoral). Jadi, karakter sendiri atas tiga bagian pokok yang saling berhubungan,
yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, dan perilaku bermoral.[4]
2.
Kerangka Teori
·
Pembelajaran
Berbasis Budaya
Horton dan Hunt
mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu hal yang dipelajari atau dialami
bersama secara sosial oleh suatu anggota masyarakat. Selanjutnya Udin S.
Winataputra dkk, mendeskripsikan bahwa pembelajaran berbasis budaya sebagai
cara belajar yang mendorong terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir
kreatif, dan juga sadar budaya.[5]
Teori belajar
yang mendukung diterapkannya pembelajaran berbasis budaya, salah satunya adalah
teori konstruktivime dalam pendidikan yang dikembangkan dari pemikiran Vygotsky
(Social and Emancipator Constructivism). Teori konstruktivisme ini disimpulkan
bahwa siswa (anak didik) mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau
penciptaan sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi
dalam konteks sosial.[6]
·
Hubungan
Aktivitas Agama dan Karakter
Menurut
Al-Asfahani, landasan kemuliaan syariah (kemuliaan agama) adalah kesucian jiwa
yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan
keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui
pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui
kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat
diperoleh melalui keadilan. Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara
aktivitas agama dan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat
organis. Baginya, ibadah merupakan prasyarat bagi terwujudnya karakter mulia.[7]
Selanjutnya
Michele Borba mengemukakan bahwa terdapat tujuh cara untuk menumbuhkan
kebajikan utama (karakter yang baik) dalam diri anak, yaitu empati, hati
nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan.
Ketujuh macam kebajikan itulah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana
pun dan kapan pun.[8]
3.
Deskripsi Topik
Muhammad Hatta, mengatakan bahwa agama
merupakan bagian dari kebudayaan: “Kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada
suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah
agama itu suatu ciptaan manusia atau tidak. Keduanya bagi saya bukan soal.
Agama adalah juga suatu kebudayaan, karena dengan beragama manusia dapat hidup
dengan senang. Karenanya saya katakana agama adalah suatu bagian daripada
kebudayaan…”.[9]
Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai
anggota masyarakat.
Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia[10]:
Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia[10]:
a.
Penerus keturunan dan pengasuh anak
b.
Pengembangan kehidupan berekonomi
c.
Transmisi budaya
d.
Meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa
e.
Pengendalian social
f.
Rekreasi
Dari fungsi
kebudayaan di atas dapat kita lihat bahwa budaya dapat meningkatkan iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang
hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna
terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu.
Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan
budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan dan karakter anak.[11]
Pembelajaran
berbasis budaya dan agama sebagai pendidikan karakter terhadap anak dimulai
dengan dipelajarinya budaya itu sendiri, karena budaya adalah hal yang dialami
bersama dalam suatu masyarakat. Budaya akan mendorong berbagai perkembangan
anak, membuat anak semakin kreatif dalam menanggapi suatu masalah. Efek dari
budaya ini nanti akan dimasukkan sebagai modal untuk mendidik karakter anak.
Caranya kita bisa mulai dengan menggabungkan antara nilai-nilai yang ada pada
budaya dan nilai-nilai yang ada pada agama. Kita mencari kecocokan antara
budaya dan agama, agar membuat karakter yang bagus pada anak.
4.
Analisis
Seperti yang
dibahas sebelumnya, untuk menjadikan budaya sebagai pendidikan karakter Islam
anak yang perlu dilakukan adalah dengan mencocokan dan menggabungkan antara
budaya dan agama. Kita dapat menggunakan teori konstruktivisme pembelajaran
budaya yang dikembangkan dari pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator
Constructivism). Teori konstruktivisme ini disimpulkan bahwa siswa (anak didik)
mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan sebuah makna yang
dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam konteks sosial.[12]
Dalam teori
tersebut, dapat kita lihat dengan jelas bahwa poin penting dalam teori tersebut
adalah interaksi dalam konteks sosial. Jadi, kita mendidik anak dengan
melatihnya berinteraksi dengan hal-hal yang ada di sekitarnya, dimulai dengan
keluarga.
Keluarga adalah
satuan terkecil kelompok orang dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan
istri, atau suami, istri, dan anak-anak mereka.[13]
Peran keluarga dalam mendidik karakter Islam anak adalah dengan memberi
pengetahuan tentang berbagai nilai, perilaku, serta kecenderungan yang dilarang
dan diperintahkan bagi agama dan masyarakat.
Untuk
menumbuhkan karakter Islam yang baik pada anak, keluarga harus mengajarkan
tujuh hal penting yang dikemukakan oleh Michele Borba yaitu empati, hati
nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan.
Ketujuh macam kebajikan itulah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana
pun dan kapan pun.[14]
·
Dengan
mengajarkan empati diharapkan anak akan peka terhadap perasaan orang lain dan
juga membuatnya dapat menafsirkan dengan tepat gejala emosi seseorang, baik
dari nada suara, postur tubuh, ekspresi wajah.
·
Hati
nurani adalah suara hati yang membantu anak memilih jalan yang benar daripada
jalan yang salah serta tetap berada di jalur yang bermoral.
·
Kontrol
diri dapat membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir
sebelum bertindak sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan
mengambil tindakan yang berakibat buruk.
·
Rasa
hormat mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang lain.
·
Kebaikan
hati membantu anak menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan dan
perasaan orang lain.
·
Toleransi
membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka
diri terhadap pandangan dan keyakinan baru.
·
Keadilan
menuntun anak agar memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak, dan
adil sehingga ia mematuhi aturan, mau bergiliran, dan berbagi.
Setelah
pendidikan dalam keluarga, selanjutnya adalah sekolah. Kita harus tepat
memasukkan anak ke sekolah yang baik. Jika kita ingin mendidik karakter Islam
pada anak, tentunya kita harus memilih sekolah yang berbau agama. Di sana anak
akan mendapatkan nilai karakter mulia seperti taat kepada Allah, syukur, ikhlas,
sabar, tawakal, qanaah, dan lain sebagainya, yang mereka dapat dari interaksi
dengan guru di dalam kelas, dan juga interaksi dengan teman-temannya.
·
Taat
kepada Allah: melaksanakan perintah dan meninggalkan semua larangannya.
·
Syukur:
selalu berterimakasih kepada Allah.
·
Ikhlas:
melakukan perbuatan secara tulus tanpa pamrih.
·
Sabar:
menerima semua takdir Allah.
·
Tawakal:
menyerahkan semua urusan kepada Allah.
·
Qanaah:
menerima semua ketentuan Allah dengan rela dan apa adanya.[15]
Menurut
Al-Asfahani, landasan kemuliaan syariah (kemuliaan agama) adalah kesucian jiwa
yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan
keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui
pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui
kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat
diperoleh melalui keadilan. Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara
aktivitas agama dan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat
organis. Baginya, ibadah merupakan prasyarat bagi terwujudnya karakter mulia.[16]
Semua hal di
atas dapat dilakukan oleh anak karena dengan adanya pengalaman berinteraksi. Dari
bekal interaksi anak dalam keluarga dan sekolah ini maka karakter Islam anak
dapat terbentuk, mereka mendapatkan bekal yang cukup untuk menciptakan sebuah
makna di dalam masyarakat dan kehidupannya. Jadi, dapat kita lihat bahwa
pembelajaran berbasis budaya dengan menggunakan teori konstruktivisme tidak ada
salahnya untuk diterapkan dalam mendidik karakter Islam anak.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pendidikan
karakter Islam pada anak melalui budaya dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Kita bisa menggabungkan agama dan budaya, mencari kecocokan antara keduanya. Di
dalam pembelajaran berbasis budaya kita dapat memakai teori konstruktivisme
yang mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan sebuah makna
yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam konteks
sosial yang ditanami dengan nilai-nilai karakter Islam. Dimulai dari interaksi
dengan keluarga dan interaksi di sekolah
Dari teori yang
ditanami nilai-nilai karakter Islam tersebut, maka akan melahirkan karakter
Islam yang baik pada anak. Jadi, dari budaya sekalipun juga dapat menumbuhkan
karakter Islam yang baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Dan karakter
Islam yang telah terbentuk ini nantinya akan sangat bermanfaat bagi anak di
masyarakat dan di kehidupannya.
2.
Saran
Dalam sebuah
pendidikan sebaiknya terdapat pembelajaran berbasis budaya, karena hal ini tidak
hanya untuk mengenalkan budaya kepada anak, tetapi hal ini juga dapat membantu
dalam mengembangkan karakter Islam kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis
dan Refleksi Historis. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: AMZAH
Nurzaeni, Irfa. 2011. Landasan Sosial
Budaya Pendidikan. (diakses dari http://ochinokurosaki.blogspot.co.id/2011/10/makalah-landasan-sosial- budaya.html?m=1 pada tanggal 30
Desember 2016 pukul 07:02 WIB.)
Pendidikandan Kebudayaan (diakses dari https://pendidikandankebudayaan.wordpress.com/ pada
tanggal 30 Desember 2016 pukul 07:25 WIB.)
Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan dalam
Perspektif Antropologi. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR
Susanto, A. 2010. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH
Trisnawati, Dwi. 2014. Implementasi Pembelajaran Berbasis Budaya
pada Kelas IV di SD Negeri
Godean 2 Sleman Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pend. Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta
[1] A. Susanto, Pemikiran
Pendidikan Islam (Cet. Ke 2), AMZAH, Jakarta, 2010, Hlm. 1.
[2] Hari Poerwanto, Kebudayaan
dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi (Cet Ke 3), PUSTAKA
PELAJAR, Yogyakarta, 2006, Hlm. 51-52.
[3] Marzuki, Pendidikan
Karakter Islam, AMZAH, Jakarta, 2015, Hlm. 19-20.
[4] Ibid, Hlm. 21.
[5] Dwi Trisnawati, Implementasi Pembelajaran Berbasis Budaya pada Kelas IV di SD Negeri Godean 2
Sleman Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pend. Pra Sekolah
dan Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, Hlm. 16.
[6] Ibid, Hlm. 20
[7] Marzuki, Pendidikan
Karakter Islam, AMZAH, Jakarta, 2015, Hlm. 47.
[8] Ibid, Hlm. 53-54.
[9] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan
Refleksi Historis, Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, 1998, Hlm. 36.
[10] Irfa Nurzaeni, Landasan Sosial
Budaya Pendidikan, (diakses dari http://ochinokurosaki.blogspot.co.id/2011/10/makalah-landasan-sosial-budaya.html?m=1
pada tanggal 30 Desember 2016 pukul 07:02 WIB.).
[11] Pendidikan dan Kebudayaan, (diakses dari
https://pendidikandankebudayaan.wordpress.com/ pada
tanggal 30 Desember 2016 pukul 07:25 WIB.).
[12] Dwi Trisnawati, Implementasi Pembelajaran Berbasis Budaya pada Kelas IV di SD Negeri Godean 2
Sleman Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pend. Pra Sekolah
dan Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, Hlm. 20.
[13] Marzuki, Pendidikan
Karakter Islam, AMZAH, Jakarta, 2015, Hlm. 66.
[14] Ibid, Hlm. 53-60.
[15] Ibid, Hlm. 101-102.
[16] Ibid, Hlm. 47.