Minggu, 02 Juli 2017

Contoh Mini Research: Mengembangkan Karakter Islam Anak dalam Perspektif Kebudayaan

Post oleh : Unknown | Rilis : Juli 02, 2017 | Series :
MENGEMBANGKAN KARAKTER ISLAM ANAK
DARI PERSPEKTIF KEBUDAYAAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Indigenous
Dosen Pengampu: Naili Ni’matul Illiyyun, M.A

                                                                                                            
Oleh:
M. Caesar Syarif H.       (1504016019)

AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016


PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di antara makhluk lainnya.[1]
Pendidikan dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah budaya. Budaya dapat mempengaruhi pendidikan karena setiap manusia hidup di dalam budaya. Pada saat ini budaya lokal semakin tergeser dengan adanya budaya-budaya modern yang terus berkembang. Kebudayaan lokal semakin terpinggirkan dari masyarakat dan kurang membumi.
Dalam Tugas kali ini, saya akan mencoba untuk tetap mempertahankan budaya kita dengan cara membuatnya sebagai bahan pendidikan untuk membentuk karakter yang Islami kepada Anak.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus pembahasan dalam latar belakang di atas, dapat kita ketahui bahwa rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah, apakah budaya dapat dijadikan sebagai bahan pendidikan karakter Islam terhadap anak?


PEMBAHASAN

1.      Kebudayaan, dan Karakter
·         Kebudayaan
Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere yang berarti bercocok-tanam (cultivation); dan bahkan di kalangan penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga dapat diartikan sebagai ibadah atau sembahyang (worship). Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal); dan ada kalanya juga ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk ‘budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa dan rasa. Karenanya ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari cipta, karsa, dan rasa.[2]

·         Karakter
Secara etimologis, kata karakter (Inggris: Character) beraal dari bahasa Yunani. Yaitu Charassein yang berarti to engrave. Kata to engrave bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan. Dalam kamus bahasa Indonesia kata karakter diartikan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Dengan demikian, orang berkarakter orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.[3]
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona bahwa karakter adalah a reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way, yang berarti suatu watak terdalam untuk merespons situasi dalam suatu cara yang baik dan bermoral. Dalam pandangan Lickona, karakter berarti suatu watak terdalam yang dapat diandalkan untuk merespons situasi dengan cara yang menurut moral baik. Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived ha three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior.” (Artinya: karakter tersusun ke dalam tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, dan perilaku bermoral). Jadi, karakter sendiri atas tiga bagian pokok yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, dan perilaku bermoral.[4]

2.      Kerangka Teori
·         Pembelajaran Berbasis Budaya
Horton dan Hunt mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu hal yang dipelajari atau dialami bersama secara sosial oleh suatu anggota masyarakat. Selanjutnya Udin S. Winataputra dkk, mendeskripsikan bahwa pembelajaran berbasis budaya sebagai cara belajar yang mendorong terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya.[5]
Teori belajar yang mendukung diterapkannya pembelajaran berbasis budaya, salah satunya adalah teori konstruktivime dalam pendidikan yang dikembangkan dari pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism). Teori konstruktivisme ini disimpulkan bahwa siswa (anak didik) mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam konteks sosial.[6]

·         Hubungan Aktivitas Agama dan Karakter
Menurut Al-Asfahani, landasan kemuliaan syariah (kemuliaan agama) adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat diperoleh melalui keadilan. Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara aktivitas agama dan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat organis. Baginya, ibadah merupakan prasyarat bagi terwujudnya karakter mulia.[7]
Selanjutnya Michele Borba mengemukakan bahwa terdapat tujuh cara untuk menumbuhkan kebajikan utama (karakter yang baik) dalam diri anak, yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan itulah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.[8]

3.      Deskripsi Topik
Muhammad Hatta, mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan: “Kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau tidak. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan, karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakana agama adalah suatu bagian daripada kebudayaan…”.[9]
Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia[10]:
a.       Penerus keturunan dan pengasuh anak
b.      Pengembangan kehidupan berekonomi
c.       Transmisi budaya
d.      Meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
e.       Pengendalian social
f.       Rekreasi
Dari fungsi kebudayaan di atas dapat kita lihat bahwa budaya dapat meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan dan karakter anak.[11]
Pembelajaran berbasis budaya dan agama sebagai pendidikan karakter terhadap anak dimulai dengan dipelajarinya budaya itu sendiri, karena budaya adalah hal yang dialami bersama dalam suatu masyarakat. Budaya akan mendorong berbagai perkembangan anak, membuat anak semakin kreatif dalam menanggapi suatu masalah. Efek dari budaya ini nanti akan dimasukkan sebagai modal untuk mendidik karakter anak. Caranya kita bisa mulai dengan menggabungkan antara nilai-nilai yang ada pada budaya dan nilai-nilai yang ada pada agama. Kita mencari kecocokan antara budaya dan agama, agar membuat karakter yang bagus pada anak.

4.      Analisis
Seperti yang dibahas sebelumnya, untuk menjadikan budaya sebagai pendidikan karakter Islam anak yang perlu dilakukan adalah dengan mencocokan dan menggabungkan antara budaya dan agama. Kita dapat menggunakan teori konstruktivisme pembelajaran budaya yang dikembangkan dari pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism). Teori konstruktivisme ini disimpulkan bahwa siswa (anak didik) mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam konteks sosial.[12]
Dalam teori tersebut, dapat kita lihat dengan jelas bahwa poin penting dalam teori tersebut adalah interaksi dalam konteks sosial. Jadi, kita mendidik anak dengan melatihnya berinteraksi dengan hal-hal yang ada di sekitarnya, dimulai dengan keluarga.
Keluarga adalah satuan terkecil kelompok orang dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan istri, atau suami, istri, dan anak-anak mereka.[13] Peran keluarga dalam mendidik karakter Islam anak adalah dengan memberi pengetahuan tentang berbagai nilai, perilaku, serta kecenderungan yang dilarang dan diperintahkan bagi agama dan masyarakat.
Untuk menumbuhkan karakter Islam yang baik pada anak, keluarga harus mengajarkan tujuh hal penting yang dikemukakan oleh Michele Borba yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan itulah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.[14]
·         Dengan mengajarkan empati diharapkan anak akan peka terhadap perasaan orang lain dan juga membuatnya dapat menafsirkan dengan tepat gejala emosi seseorang, baik dari nada suara, postur tubuh, ekspresi wajah.
·         Hati nurani adalah suara hati yang membantu anak memilih jalan yang benar daripada jalan yang salah serta tetap berada di jalur yang bermoral.
·         Kontrol diri dapat membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir sebelum bertindak sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan mengambil tindakan yang berakibat buruk.
·         Rasa hormat mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang lain.
·         Kebaikan hati membantu anak menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan dan perasaan orang lain.
·         Toleransi membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka diri terhadap pandangan dan keyakinan baru.
·         Keadilan menuntun anak agar memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak, dan adil sehingga ia mematuhi aturan, mau bergiliran, dan berbagi.
Setelah pendidikan dalam keluarga, selanjutnya adalah sekolah. Kita harus tepat memasukkan anak ke sekolah yang baik. Jika kita ingin mendidik karakter Islam pada anak, tentunya kita harus memilih sekolah yang berbau agama. Di sana anak akan mendapatkan nilai karakter mulia seperti taat kepada Allah, syukur, ikhlas, sabar, tawakal, qanaah, dan lain sebagainya, yang mereka dapat dari interaksi dengan guru di dalam kelas, dan juga interaksi dengan teman-temannya.
·         Taat kepada Allah: melaksanakan perintah dan meninggalkan semua larangannya.
·         Syukur: selalu berterimakasih kepada Allah.
·         Ikhlas: melakukan perbuatan secara tulus tanpa pamrih.
·         Sabar: menerima semua takdir Allah.
·         Tawakal: menyerahkan semua urusan kepada Allah.
·         Qanaah: menerima semua ketentuan Allah dengan rela dan apa adanya.[15]
Menurut Al-Asfahani, landasan kemuliaan syariah (kemuliaan agama) adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat diperoleh melalui keadilan. Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara aktivitas agama dan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat organis. Baginya, ibadah merupakan prasyarat bagi terwujudnya karakter mulia.[16]
Semua hal di atas dapat dilakukan oleh anak karena dengan adanya pengalaman berinteraksi. Dari bekal interaksi anak dalam keluarga dan sekolah ini maka karakter Islam anak dapat terbentuk, mereka mendapatkan bekal yang cukup untuk menciptakan sebuah makna di dalam masyarakat dan kehidupannya. Jadi, dapat kita lihat bahwa pembelajaran berbasis budaya dengan menggunakan teori konstruktivisme tidak ada salahnya untuk diterapkan dalam mendidik karakter Islam anak.


PENUTUP

1.      Kesimpulan
Pendidikan karakter Islam pada anak melalui budaya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Kita bisa menggabungkan agama dan budaya, mencari kecocokan antara keduanya. Di dalam pembelajaran berbasis budaya kita dapat memakai teori konstruktivisme yang mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam konteks sosial yang ditanami dengan nilai-nilai karakter Islam. Dimulai dari interaksi dengan keluarga dan interaksi di sekolah
Dari teori yang ditanami nilai-nilai karakter Islam tersebut, maka akan melahirkan karakter Islam yang baik pada anak. Jadi, dari budaya sekalipun juga dapat menumbuhkan karakter Islam yang baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Dan karakter Islam yang telah terbentuk ini nantinya akan sangat bermanfaat bagi anak di masyarakat dan di kehidupannya.

2.      Saran
Dalam sebuah pendidikan sebaiknya terdapat pembelajaran berbasis budaya, karena hal ini tidak hanya untuk mengenalkan budaya kepada anak, tetapi hal ini juga dapat membantu dalam mengembangkan karakter Islam kepada anak.


DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi                 Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: AMZAH
Nurzaeni, Irfa. 2011. Landasan Sosial Budaya Pendidikan. (diakses dari                      http://ochinokurosaki.blogspot.co.id/2011/10/makalah-landasan-sosial-             budaya.html?m=1 pada tanggal 30 Desember 2016 pukul 07:02 WIB.)
Pendidikandan Kebudayaan (diakses dari                                                                   https://pendidikandankebudayaan.wordpress.com/ pada tanggal 30                   Desember 2016 pukul 07:25 WIB.)
Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif                         Antropologi. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Susanto, A. 2010. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH
Trisnawati, Dwi. 2014. Implementasi Pembelajaran Berbasis Budaya pada                   Kelas IV di SD Negeri Godean 2 Sleman Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pend.             Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta







[1] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. Ke 2), AMZAH, Jakarta, 2010, Hlm. 1.
[2] Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi (Cet Ke 3), PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta, 2006, Hlm. 51-52.
[3] Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, AMZAH, Jakarta, 2015, Hlm. 19-20.
[4] Ibid, Hlm. 21.
[5] Dwi Trisnawati, Implementasi Pembelajaran Berbasis Budaya pada Kelas IV di SD Negeri Godean 2 Sleman Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pend. Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, Hlm. 16.
[6] Ibid, Hlm. 20
[7] Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, AMZAH, Jakarta, 2015, Hlm. 47.
[8] Ibid, Hlm. 53-54.
[9] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1998, Hlm. 36.
[10] Irfa Nurzaeni, Landasan Sosial Budaya Pendidikan, (diakses dari http://ochinokurosaki.blogspot.co.id/2011/10/makalah-landasan-sosial-budaya.html?m=1 pada tanggal 30 Desember 2016 pukul 07:02 WIB.).
[11] Pendidikan dan Kebudayaan, (diakses dari https://pendidikandankebudayaan.wordpress.com/   pada tanggal 30 Desember 2016 pukul 07:25 WIB.).
[12] Dwi Trisnawati, Implementasi Pembelajaran Berbasis Budaya pada Kelas IV di SD Negeri Godean 2 Sleman Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pend. Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, Hlm. 20.
[13] Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, AMZAH, Jakarta, 2015, Hlm. 66.
[14] Ibid, Hlm. 53-60.
[15] Ibid, Hlm. 101-102.
[16] Ibid, Hlm. 47.

google+

linkedin