Cultural Studies
Tugas
Mata Kuliah : Cultural Studies
Dosen
Pengampu : Naili Ni’matul Illiyyun, M.A
Oleh :
1. Andri Astuti (1504016007)
2. M. Caesar Syarif H. (1504016019)
AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Cultural
studies merupakan paradigma baru dalam kajian ilmu sosial, memperkenalkan
budaya dalam dimensi yang baru. Tidak hanya sebagai kreasi manusia dan hasil
perilaku, tetapi menelaah pemahaman mendalam antara budaya dan kekuasaan yang
mendasarinya. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa saling berhubungan
satu sama lain. Untuk itulah peran komunikasi dibutuhkan. Dalam hidup
bermasyarakat orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya
akan terisolasi dari masyarakatnya. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah
dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti: adanya keberagaman suku
agama, bahasa, adat istiadat.
Kajian ilmu
komunikasi yang cenderung linier seperti di atas terasa mendapatkan angin segar
dengan kehadiran kajian budaya, atau yang disebut cultural studies. Ada banyak
orang yang membicarakan kebudayaan dengan berbagai aspeknya, tetapi tak banyak
orang yang mampu mendefinisikan apa sesungguhnya kebudayaan itu dan mengapa
kebudayaan demikian kuat memberikan pengaruh pada kehidupan manusia selama
perjalanan hidupnya. Tidak hanya di bidang ilmu komunikasi saja, cultural
studies juga merambah bidang keilmuwan yang lain seperti psikologi,
antropologi, linguistik ilmu politik hingga sains. Kenapa bisa seperti itu?
karena memang yang menjadi objek perhatiannnya adalah budaya, tentu saja dalam
arti luas. Dari uraian tersebut kami ingin sedikit menjelaskan mengenai
pengertian dan ruang lingkup kajian budaya atau cultural studies.
2.
Rumusan Masalah
1)
Apa
pengertian cultural studies?
2)
Apa saja
ruang lingkup cultural studies?
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Cultural Studies
Cultural
studies merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu ‘kluster (atau bangunan)
gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik, yang menyediakan cara-cara
untuk membicarakan topik, aktivitas sosial tertentu atau arena institusional
dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan
yang terkait dengannya’ (Hall, 1997a:6). Cultural studies dibangun oleh suatu
cara berbicara yang tertata perihal objek-objek (yang dibawanya sebagai
permasalahan) dan yang berkumpul di sekitar konsep-konsep kunci,
gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian. Selain itu, cultural studies
memiliki suatu momen ketika dia menamai dirinya sendiri, meskipun penamaan itu
hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektual yang terus
berubah.[1]
Tradisi kajian
budaya menjadi tradisi studi yang banyak dilakukan awal kemunculannya oleh para
akademisi dan peneliti di Center for Contemporary Cultural Studies (CCCC).
Universitas Birmingham di Inggris pada tahun 1960an. Sejak saat itu kajian
budaya menjadi tradisi studi yang meluas di kalangan intelektual di
negara-negara seperti Amerika, Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Eropa, dengan
setiap informasi yang berbeda-beda objek kajiannya (Barker, 2012).
Sejak awal
kemunculannya, kajian budaya menjadi semakin besar dan hasil-hasil studi yang
dihasilkannya semakin meningkat. Buku-buku teks tentang kajian budaya dan
budaya populer dikalangan akademik tumbuh pesat. McGuigan (1997) bahkan
menyatakan bahwa perkembangan kajian budaya secara profesional dan institusional
pada akhirnya membawa kondisi yang disebut oleh Stuart Hall sebagai kajian yang
mempermasalahkan secara kritis keberadaan, kekuasaan, sejarah/ masa lalu, dan
politik (dalam arti luas), atau yang dikatakannya : “formalize out of
existence the critical questions of power, history and politics,”(Hall,
1992: 286).[2]
Stuart Hall
(1972) menjelaskan bahwa kajian media dan budaya, atau yang lebih dikenal
dengan Media and Cultural Studies, pada dasarnya mencoba untuk
menggoyang kemampuan berpikir kita tentang “realitas” dan apa yang dimaksud
dengan “real” (yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita sehari-hari. Dalam
dunia yang sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar, dan tulisan-tulisan
yang ada di koran, televisi, film, video, radio, iklan, novel dan lain
sebagainya, cara kita dan lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi dan
berbeda satu sama lain. Di era yang disebutnya sebagai “media saturated
world” saat kehidupan manusia telah dimediasi oleh media masa, dan cara
kita melihat, memandang, memahami dan berperilaku terhadap realitas sosial
telah diantarai oleh media massa. Apa yang ada di sekitar kita, menentukan cara
kita bertindak dan berperilaku terhadapnya, karena apa yang kita lihat, tonton,
baca, dengarkan, dan nikmati dari media massa seolah “mengajarkan” kita untuk
melakukan seperti itu. Pada kenyataannya, budaya kita sebenarnya juga dibentuk
oleh media massa yang kita nikmati tiap harinya.[3]
Lebih jauh
lagi, Hall (1972) menyatakan bahwa sentral dari studi media dan budaya adalah
pada khalayak atau masyarakat yang selama ini kurang disentuh, terutama
masyarakat sebagai makhluk yang membuat makna secara aktif dan masyarakat yang
tidak dikooptasi oleh
kepentingan-kepentingan kekuasaan (power interrest) yang selama
ini mendominasi media massa dan menentukan kehidupan sosial budaya masyarakat.[4]
2.
Ruang Lingkup Cultural Studies
Mengenai ruang
lingkup kajian budaya diungkapkan secara jelas dalam Barker (2000), yakni (1)
relasi antara kebudayaan dan kekuasaan, (2) seluruh praktik, institusi, dan
sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan,
kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah
populasi, (3) pelbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras,
kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir
tentang kebudayaan dan kekuasaan yang biasa digunakan oleh agen-agen dalam
mengejar perubahan, dan (4) pelbagai kaitan wacana di luar dunia akademis
dengan gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembaga kebudayaan, dan
manajemen kebudayaan.[5]
Selain itu
cultural studies juga mencakup budaya pop, ideologi, wacana, feminisme, politik
budaya, media, dan lain sebagainya. Karena cakupannya yang luas, di sini akan
dipaparkan beberapa cakupan-cakupan tersebut.
·
Politik
Kultural (Budaya)
Cultural
studies adalah bidang multidisipliner atau bahkan pascadisipliner yang
mengaburkan sekat-sekat antara dirinya dengan disiplin lain. Namun karena
cultural studies tidak ingin dipandang sebagai ‘apa pun’ (Hall, 1992a), maka ia
harus berusaha membedakan dirinya melalui politik. Cultural studies selalu
meklaim terfokus pada isu kekuasaan, politik dan kebutuhan akan perubahan
sosial. Sesungguhnya, cultural studies memiliki aspirasi untuk membangun
jaringan dengan gerakan politik di luar akademi. Jadi, cultural studies adalah
setumpuk teori dan serangkaian tindakan politis, termasuk produksi teori
sebagai praktik politis (sebenarnya, praktik yang diunggulkan). Bagi cultural
studies, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif,
melainkan soal posisionalitas, yang digambarkan Gray sebagai ‘siapa dapat
mengenal apa tentang siapa, dengan cara apa dan untuk tujuan apa’ (Gray,
1997:94).[6]
·
Feminisme
Franklin et al.
(1991) menunjukkan sejumlah kesamman pokok perhatian antara cultural studies
dengan feminisme. Franklin et al. tertarik pada aspirasi feminisme dan cultural
studies dalam mengkaitkan gerakan sosial dan politik di luar akademik dan
dengan sikap kritisnya disiplin yang lebih mapan semisal sosiologi dan sastra
inggris. Fokus kepada produksi pengetahuan muncul kecurigaan timbal balik dan
tantangan terhadap gagasan mapan tentang ‘pengetahuan yang pasti’ , dengan
menyatakan tempatnya sebagai posisionalitas proses mengetahui. Gray
mendeskripsikan demikian “siapa yang bisa tahu tentang siapa, dengan cara apa
dan untuk tujuan apa ‘(gray, 1997:94). Jadi baik feminisme maupun cultural
studies ingin menghasilkan pengetahuan diri dan oleh kelompok yang
‘terpinggirkan’ dan tertindas dengan niatan tegas yaitu malakukan intervensi
politik. Walhasil, cultural studies dan feminisme sama-sama memiliki
kepentingan substantif dalam isu kekuasaan, reprensentasi, kebudayaan pop,
subjektivitas, identitas dan konsumsi.[7]
·
Budaya
Pop
Kebudayaan pop
terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan tidak ada
alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah dimasa yang akan datang.
Namun, dinyatakan bahwa audien pop menciptakan makna mereka sendiri melalui
teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya
diskursif mereka sendiri. Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik
yang dihasilkan oleh audien pop pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan
pop terpusat pada bagaimana dia digunakan. Argumen-argumen ini menunjukkan adanya
pengulangan pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan
memalingkan orang kepada komoditas yang mengabdi kepada kepentingannya dan
lebih suka mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri menjadi
kebudayaan pop yang mengabdi kepada kepentingan.[8]
Edgar &
Sedgwick (1999) dalam bukunya Key Concepts on Cultural Theory menulis,
istilah “culture” memang tidak mudah didefinisikan, karena memiliki makna yang
berbeda-beda dalam beragam konteks. Kendati demikian, konsep tentang budaya
yang mendasari cultural studies dapat ditemukan bermuara pada
antropologi kultural, sebagaimana cultural studies itu sendiri. “… It
entails recognition that all human beings live in a world that is created by
human beings, and in which they find meaning.” Karena itu, “culture is
the complex everyday world we are all encounter and through which we all move.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka, tampaknya, budaya mencakup
(hampir) segala sesuatu dan cultural studies, sebagai konsekuensinya,
juga mempelajari (hampir) segala sesuatu!
Namun,
kendatipun cultural studies tampaknya merupakan kajian yang paling sukar
ditetapkan batas-batasnya, tidak berarti segala sesuatu dapat masuk menjadi
bahasan cultural studies. Sardar dan Van Loon (2002) merinci
karakteristik cultural studies (CS) sbb.
1)
CS bertujuan mengkaji pokok persoalan dari sudut praktik kebudayaan
dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah mengungkapkan hubungan
tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan.
2)
CS tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas
tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah
memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks
sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya.
3)
Budaya
dalam CS selalu menampilkan dua fungsi: ia sekaligus merupakan objek
studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. CS bertujuan, baik usaha
pragmatis maupun ideal.
4)
CS berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan,
mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tak tersirat (yaitu
pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (yang
dinamakan universal). CS mengasumsikan suatu identitas bersama dan
kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara pengamat
dan yang diamati.
5)
CS melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan
dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi CS bukanlah tradisi
kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi
rekontruksi sosial dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi, CS bertujuan
memahami dan mengubah struktur dominasi di mana-mana, namun secara khusus lagi
dalam masyarakat kapitalis industrial.[9]
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Cultural
studies merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu ‘kluster (atau bangunan)
gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik, yang menyediakan cara-cara
untuk membicarakan topik, aktivitas sosial tertentu atau arena institusional
dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan
yang terkait dengannya’ (Hall, 1997a:6). Cultural studies dibangun oleh suatu
cara berbicara yang tertata perihal objek-objek (yang dibawanya sebagai
permasalahan) dan yang berkumpul di sekitar konsep-konsep kunci,
gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian.
Mengenai ruang
lingkup kajian budaya diungkapkan secara jelas dalam Barker (2000), yakni (1)
relasi antara kebudayaan dan kekuasaan, (2) seluruh praktik, institusi, dan
sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan,
kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah
populasi, (3) pelbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras,
kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir
tentang kebudayaan dan kekuasaan yang biasa digunakan oleh agen-agen dalam
mengejar perubahan, dan (4) pelbagai kaitan wacana di luar dunia akademis
dengan gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembaga kebudayaan, dan
manajemen kebudayaan.
2.
Saran
Semoga dengan
adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai cultural studies,
dari pengertian, ruang lingkup sampai contoh-contohnya. Agar kita dapat
memanfaatkan pengetahuan yang kita dapat ini dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti,
Santi Indra. 2003. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu
Pengantar.
MEDIATOR, Vol. 4, No. 1
Barker,
Chris. 2009. Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-6), Terjemahan
Nurhadi. Bantul :
Kreasi Wacana
Ida,
Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta
: Prenada Media
Group
Santoso,
Anang. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Jurusan Sastra
Indonesia Fak. Sastra
Universitas Negeri
Malang
[1]
Chris Barker, Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-6), Terjemahan
Nurhadi, Kreasi Wacana, Bantul, 2009, Hlm. 6
[2]
Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, Prenada
Media Group, Jakarta, 2014, Hlm. 1-2
[3]
Ibid., Hlm. 3
[4]
Ibid., Hlm. 4
[5]
Anang Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya, Jurusan Sastra
Indonesia Fak. Sastra Universitas Negeri Malang, Hlm. 2-3
[6]
Chris Barker, Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-6), Terjemahan
Nurhadi, Kreasi Wacana, Bantul, 2009, Hlm. 371-372
[7]
Ibid., Hlm. 237-238
[8]
Ibid., Hlm. 50
[9]
Santi Indra Astuti, “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu
Pengantar, MEDIATOR, Vol. 4, No. 1, 2003, Hlm. 58-59