Assalamualaikum wr. wb.
Kali ini saya akan menjelaskan tentang isi buku Filsafat Ilmu dari Jerome R. Ravertz. Akan tetapi saya hanya akan fokus pada halaman 108-126, yaitu sekitar bab dua ke belakang. Jerome (Jerry) Ravetz ini merupakan salah satu filsuf sains independen. Dia terkenal dengan bukunya yang menganalisis pengetahuan ilmiah dari sudut pandang etika dan sosial, juga mefokuskan perhatian pada isu-isu kualitas. Mengenai riwayat hidupnya untuk lebih jelas lagi kalian bisa cari buku-buku atau sumber-sumber yang membahas tentangnya. Langsung saja tanpa panjang lebar.kita bahas bersama-sama mengenai bukunya Jerome R. Ravertz ini.
Judul Buku : Filsafat Ilmu
Pengarang : Jerome R. Ravertz
Penerbit : Pustaka Pelajar
Kota : Yogyakarta
Tahun : 2007
Halaman : 108-126
Dalam bab dua buku “Filsafat Ilmu” karya Jerome R. Ravertz terutama pada bagian awal mengenai perkembangan historis masalah-masalahnya, dia menyampaikan bagaimana perkembangan filsafat ilmu itu sendiri. Dimulai dari periode klasik dan abad tengah di mana pada periode inilah permulaan dari yang namanya filsafat alam, contohnya seperti apakah manifestasi-manifestasi fenomena alam yang berbeda-beda berasal dari suatu bentuk materi tunggal yang kekal atau berasal dari beberapa substansi elementer yang bergabung bersama-sama? Lalu pada abad ke-17 dan ke-18 membicarakan tentang hubungan antara filsafat dengan teologi tidak terputus begitu saja, melainkan filsafat itu cocok dengan teologi. Di sini kita akan lebih fokus kepada bagian ke-3 dan ke-4, yaitu sampai perang dunia satu dan perdebatan abad ke-20. Karena pada bagian inilah tugas review saya.
Di bagian ke-3 sendiri membicarakan mengenai filsafat fisika klasik, di mana pada abad belakangan, dalam tahun 1880-an, para filsuf ilmu dengan cara yang berbeda-beda melanjutkan persoalan-persoalan yang dibukukan oleh Kant; dan beberapa implikasinya masih diteliti dalam tahun 1970-an, contohnya, dalam psikologi kognitif. Dalam istilah-istilah umum, tesis utama Kant – yakni, bahwa manusia memberikan suatu struktur pada pengetahuannya melalui konsep-konsep dan kategori-kategori yang bermuara pada pembentukan dan penafsiran pengalaman.
Maksud dari tesis utama Kant di atas adalah bahwa untuk memperoleh atau mempresentasikan suatu informasi kita harus memberikan suatu ide atau rancangan pada pengetahuan yang kita miliki melalui ide-ide atau rancangan yang kita buat yang terarah menuju pembentukan atau penafsiran pengalaman. Contohnya seperti ini, kita mendapatkan sebuah tugas dari dosen untuk membuat makalah, dan jika kita telah menyelesaikannya kita harus mempresentasikannya kepada teman-teman. Menurut tesis utama Kant di atas kita harus memberikan ide atau rancangan pada pengetahuan yang telah kita tuangkan ke dalam makalah dan cara kita untuk mempresentasikannya, jadi dalam pembuatan makalah kita harus membuatnya agar teman-teman kita mudah untuk memahaminya. Bisa dengan memasukkan tabel, gambar, atau sesuatu yang memudahkan untuk memahaminya. Lalu sebelum mempresentasikan makalah, kita juga harus merancang atau merencanakan bagaimana cara kita untuk mempresentasikan makalah kita dengan baik. Kita dapat menggunakan pengalaman kita untuk hal tersebut. Dari pengalaman, kita tahu bagaimana watak setiap teman kita, kita tahu apa yang biasanya diinginkan mereka, kita tahu apa yang bisa membuat mereka puas. Dari hal-hal inilah, kita akan lebih mudah dalam mempresentasikannya.
Kurang lebih seratus tahun, fondasi-fondasi epistemik dan komitmen-komitmen ontal apa yang disebut ilmu klasik ini diterima begitu saja secara luas. Oleh karena itu perdebatan dalam filsafat ilmu abad ke-19 berpusat pada topik-topik pinggiran dan menghindari isu-isu yang dapat mempertanyakan kemapanan Euklides dan Newton.
Akibatnya, baru tahun 1890-an dan awal tahun 1900-an terjadi keraguan-keraguan serius yang bertambah besar terhadap finalitas sintesis Newtonian; dan tulisan-tulisan Ernst Mach, Heinrich Hertz fisikawan Jerman yang terkenal, Max Planck, Pierre Duhem, dan orang-orang lain menobatkan fase baru ciri reanalysis kritis yang berjangkauan jauh pada filsafat ilmu abad ke-20. Dalam satu dan lain cara, semua ilmuan ini berpaling ke belakang dan melihat pada sisitem-sistem Euklidean dan Newtonian dengan mata yang segar dan kurang terpaku.
Sedangkan pada bagian ke-4 membicarakan mengenai perdebatan antara para positivistis dan sejarawan. Di mana pada pertengahan abad ke-20, perdebatan dalam filsafat ilmu menjadi semakin mendalam, rumit, dan kritis; dalam kenyataannya selama 50 tahun, kita telah melihat topik itu akhirnya mendapat status sebagai suatu disiplin profesional yang mantap. Tidak sedikit di antara penyebab perkembangan ini ialah perubahan-perubahan mendalam yang telah terjadi sejak tahun 1900 di dalam fisika teoritis dan cabang-cabang fundamental ilmu alam. Selama sintesis klasik Euklid dan Newton mempertahankan otoritasnya yang tak dapat diganggu gugat, hanya sedikit kesempatan untuk benar-benar memeriksanya secara mendalam basis ontologis dan epistemologis; namun teori relativitas yang menerangkan geometri-geometri dan hukum-hukum yang lebih awal di dalam kerangka wawasan baru ke dalam hubungan-hubungan di antara ruang dan waktu dan mekanika kuantum yang menerangkannya dalam kerangka rumusan statistik dan indetermistik mengajukan tantangan yang frontal kepada sintesis itu, dan mau tak mau, mendorong pertanyaan-pertanyaan kritis dan filosofis terhadap kesahihan metode-metode dan asumsi-asumsi yang menjadi sandarannya. Akibatnya, antara tahun 1920 dan 1940 muncul suatu interaksi yang diperbaharui antara fisikawan teoritis dengan para filsuf ilmu khususnya para Positivis Wina dan para pengarang mekanika kuantum yang baru.
Dalam antropologi, ada etnolog Inggris Arnold Radcliff-Brown dan Bronislaw Malinowski, yang mempelajari mentalitas dan perilaku primitif, yang memandang semua praktik budaya dan lembaga-lembaga sosial yang berfungsi di dalam komunitas tertentu kapan saja, saling berhubungan satu sama lain secara sistematis dalam suatu struktur keseluruhan. Maksudnya adalah segala kegiatan di dalam suatu budaya atau komunitas adalah saling berhubungan satu sama lain.
Misalnya komunitas “Otaku” yang berisi orang-orang yang menyukai animasi kartun, semua kegiatan di dalam komunitas tersebut seperti menirukan karakter kartun dari segi tatanan rambut, make up, pakaian dan lain-lain atau kegiatan apa saja yang dilakukan oleh komunitas tersebut secara bersama-sama, bagaimana mereka berhubungan dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya secara serentak sebenarnya adalah saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Semua perdebatan metodologis pada zaman tersebut masih terus berlanjut dan bagaimana hasil akhirnya belum dapat diramalkan dengan jelas.
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa di bagian ini membicarakan mengenai pendekatan umum pada filsafat ilmu terutama pada perkembangan historis masalah-masalah filsafat ilmu dari zaman ke zaman. Dari bagian ke-3 yang membicarakan mengenai filsafat islam klasik sampai pada bagian ke-4 yang membicarakan mengenai perdebatan antara positivistis dan sejarawan yang hasil akhirnya belum dapat diramalkan dengan jelas.
Itulah tadi penjelasan singkat mengenai isi dari buku "Filsafat Ilmu" ini, walaupun hanya sedikit semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga apa yang saya jelaskan mudah dimengerti, jika ada tanggapan boleh komentar di bawah. Mungkin cukup sekian dulu ya, kita lanjutkan di postingan berikutnya tentu saja dengan tema atau pembahasan yang lain yang mungkin lebih menarik, kurang lebihnya saya mohon maaf, karena manusia itu pasti pernah melakukan kesalahan.
Itulah tadi penjelasan singkat mengenai isi dari buku "Filsafat Ilmu" ini, walaupun hanya sedikit semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga apa yang saya jelaskan mudah dimengerti, jika ada tanggapan boleh komentar di bawah. Mungkin cukup sekian dulu ya, kita lanjutkan di postingan berikutnya tentu saja dengan tema atau pembahasan yang lain yang mungkin lebih menarik, kurang lebihnya saya mohon maaf, karena manusia itu pasti pernah melakukan kesalahan.
Wassalamualaikum wr. wb.
1 komentar:
Tulis komentarAda daftar isi bukunya ga ka ?
Reply